Senin, 11 Mei 2009

bid'ah

Assalamualaikum WW
Bismillah. Alhamdulillah. Washsholaatu wassalaamu alaa Rasulillah,
Sayyidinaa Muhammad ibni Abdillah, wa alaa aalihi wa shahbihi wa man
waalah. Amma ba'du.
Setelah seri bermadzhab enam jilid sudah selesai, kini saya bermaksud
melanjutkan dengan seri kedua, yaitu pembahasan tentang Bid'ah.
Silakan diikuti. Ini adalah seri 1.


BID’AH, TA’RIF DAN PEMBAHASANNYA

Disajikan oleh: H.M. Dawud Arif Khan, S.E., M.Si., Ak., CPA

Segala puji bagi Allah SWT. Sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, kepada para shahabat dan
keluarga beliau, serta kepada para pengikut beliau hingga akhir masa.
Ini adalah risalah kecil tentang masalah bid’ah yang masih perlu
dilengkapi dan dikaji lebih jauh. Semoga bermanfaat baik di dunia
maupun di akhirat. Aamiin.

A. ANCAMAN KEPADA AHLI BID’AH

Banyak hadits yang memberikan ancaman yang nyata kepada para ahli
bid’ah, di antaranya:

“Allah enggan menerima ibadah ahli bid’ah sampai ia meninggalkan
bid’ahnya itu.” (HR Ibnu Majah)

Dari A’isyah Rda., bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang
mengada-adakan dalam urusan kami ini (urusan agama/ibadah) sesuatu
yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan orang itu ditolak.” (HR
Imam Muslim)

Imam Nawawi, Ulama yang menyusun Kitab Syarah Shahih Muslim mengatakan
bahwa pengertian ditolak itu adalah batal atau batil, tidak masuk
hitungan. Ini hadits yang jelas, yaitu menolak segenap ibadah yang
diada-adakan, ibadah yang bid’ah.

Perlu diketahui bahwa Imam Nawawi ini juga penyusun Kitab Majmu’
Syarah Al-Muhadzdzab yang sangat terkenal, Kitab Riyaadhus Shalihin,
Al-Adzkaar, dan lain-lain. Beliau sangat anti bid’ah, sehingga sangat
aneh tuduhan sementara orang bahwa beliau mengajarkan bid’ah. Suatu
hal yang sangat tidak logis dan tidak ilmiah.



Dan yang paling terkenal adalah sabda Rasulullah SAW:

“.....Jauhilah perkara baru yang diada-adakan, karena semua yang baru
diada-adakan itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu adalah sesat.”
(HR Abu Dawud)



Rasulullah SAW juga bersabda:

“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang sudah dimatikan orang
setelah aku tidak ada, maka baginya pahala seperti pahala orang yang
mengamalkannya. Tidak sedikitpun dikurangi seperti orang yang
mengamalkan sunnah.

Dan barangsiapa yang membuat suatu bid’ah yang sesat yang tidak
diridhoi Allah dan Rasul-Nya, maka ia mendapat pula dosa-dosa yang
mengamalkan bid’ah tanpa dikurangi sedikit pun.” (H.R. Imam Tirmidzi)

Menurut Hadits ini, siapa yang mengadakan bid’ah, maka ia berdosa dan
ia mendapat pula dosa orang yang mengamalkan bid’ah itu sampai dengan
Hari Kiamat. Maka sungguh buruklah orang yang berpendapat bahwa adzan
kedua Shalat Jum’at itu bid’ah (dhalalah), karena dengan demikian ia
berkesimpulan bahwa Utsman bin Affan adalah ahli bid’ah yang akan
memikul dosa semua orang yang melakukan adzan Jum’at dua kali. Sungguh
kesimpulan yang sembrono dan salah besar. Sedangkan dalam beberapa
Hadits, beliau telah dijamin oleh Rasulullah SAW sebagai ahli surga.

Dari Abu Musa Al-Asy`ari Ra., ia berkata: ”Tatkala Rasulullah SAW
berada dalam salah satu kebun Madinah sedang bersandar dengan
menancapkan sebatang kayu antara air dan tanah tiba-tiba datang
seseorang yang ingin menemui Rasulullah saw. ............... Kemudian
Rasulullah saw. duduk dan bersabda: Bukakanlah pintu dan sampaikanlah
kabar gembira tentang surga dengan musibah yang akan menimpa. Aku pun
pergi menemui orang itu, ternyata dia adalah Usman bin Affan. Aku
bukakan pintu untuknya dan menyampaikan kepadanya berita gembira
tentang surga. Usman lalu berkata: Ya Allah, (berilah) kesabaran atau
Allah-lah Yang Maha Penolong.” (HR Imam Muslim, Shahih Muslim No.4416)

B. PENGERTIAN BID’AH

Menurut Bahasa Arab, kata Bid’ah berarti “sesuatu yang diadakan tanpa
contoh yang terdahulu”.

Sedangkan definisi (ta’rif) bid’ah tidak terdapat dalam Al-Qur’an
maupun Al-Hadits. Para Ulama’lah yang menyusun definisi/ta’rif
tersebut setelah memperhatikan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Syeikh
Izzuddin bin Abdis Salam berkata:

“Bid’ah itu adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada
zaman Rasulullah SAW.”[1]

Menurut riwayat Abu Nu’im, Imam Syafi’i pernah berkata: “Bid’ah itu
dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah
terpuji ialah yang sesuai dengan sunnah Nabi, dan bid’ah tercela ialah
yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabi.”[2]


Imam Baihaqi ahli hadits yang terkenal menerangkan dalam kitab
‘Manaqib Syafi’i’ bahwa Imam Syafi’i pernah berkata:

“Pekerjaan yang baru itu dua macam:

Pekerjaan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Qur’an,
Sunnah Nabi, Atsar dan Ijma’, ini dinamakan bid’ah dhalalah,
Pekerjaan keagamaan yang baik, yang tidak menentang salah satu dari
yang tersebut di atas, adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela.”

Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua golongan, yaitu bid’ah
dhalalah dan bid’ah yang tidak tercela (hasanah).

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengadakan dalam Islam
sunnah hasanah (sunnah yang baik) maka diamalkan orang kemudian
sunnahnya itu, diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang
mengerjakan kemudian dengan tidak mengurangkan sedikit juga dari
pahala orang yang mengerjakan kemudian itu.

Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah sayyiah (sunnah
yang buruk), maka diamalkan orang kemudian sunnah buruknya itu,
diberikan kepadanya dosa seperti orang yang mengerjakan kemudian
dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang
mengerjakan kemudian itu.” (H.R. Imam Muslim).

Istilah bid’ah yang baik diambil dari ucapan Umar bin Khattab Ra. Dari
Abdurrahman bin Abdul Qarai, beliau berkata:

“Saya keluar bersama Umar Bin khatab (Khalifah Rasyidin) pada suatu
malam bulan Ramadhan ke Mesjid Madinah. Di dalam mesjid itu
orang-orang shalat tarawih bercerai-berai. Ada yang shalat
sendiri-sendiri dan ada yang shalat dengan beberapa orang di
belakangnya. Maka Umar RA berkata : ”Saya berpendapat akan
mempersatukan orang-orang ini. Kalau disatukan dengan seorang imam
sesungguhnya lebih baik, serupa dengan shalat Rasulullah”. Maka beliau
satukan orang-orang itu shalat di belakang seorang Imam, namanya Ubai
bin Ka’ab.

Kemudian pada suatu malam kami datang lagi ke mesjid, lalu kami
melihat orang shalat berjama’ah di belakang seorang Imam. Umar RA.
berkata : ”ini adalah bid’ah yang baik”.

(Shahih Bukhari Juz I hal. 242)

Umar bin Khattab memberi istilah bid’ah pada pekerjaan yang
diperintahkannya, yaitu Shalat Tarawih berjamaah. Hanya saja, itu
adalah bid’ah yang baik. Sementara orang boleh menyatakan bahwa
perbuatan Tarawih berjamaah itu bukan bid’ah, tapi yang sudah pasti
adalah bahwa Umar bin Khatttab itu lebih pandai dalam hal agama
daripada kita. Ia memberi ta’rif perbuatannya sebagai bid’ah, hanya
saja bid’ah yang baik.



Imam Suyuthi berkata:

“Maksud yang asal dari perkataan bid’ah ialah sesuatu yang baru
diadakan tanpa contoh terlebih dahulu. Dalam istilah syari’at, bid’ah
adalah lawan dari sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada zaman Nabi
Muhammad SAW. Kemudian hukum bid’ah terbagi kepada hukum yang
lima.”[3]

Imam Ibnu Hajar Al-Atsqolani, Ulama yang menyusun Kitab Fathul Bari
Syarah Shahih Bukhari, mengatakan: “Dan sebagian Ulama membagi bid’ah
itu kepada hukum yang lima. Ini jelas.”[4]



Untuk memperjelas persoalan bahwa tidak semua bid’ah dapat dikatakan
sesat, kita ikuti uraian berikut ini:

________________________________

[1] Izzuddin bin Abdussalaam, Qowaaid al-Ahkam:

[2] Ahmad Ibnu Hajar Al-Atsqolani, Fathul Bari, juz XVII – hal. 10.

[3] Imam Suyuthi, Tanwirul Halik, juz I – hal.137

[4] Ahmad Ibnu Hajar Al-Atsqolani, Op.Cit.



Silakan tunggu episode 2.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar